Sparse Code Multiplexing Access (SCMA)


Bandar Lampung, 1 Mei 2017

Ketika membicarakan 5G saat ini yang menuju tiga tahun lagi untuk launching pada tahun 2020, salah satu kandidat teknologi untuk mendukung 5G adalah Sparse Code Multiplexing Access (SCMA).  Tulisan ini saya buat dalam rangka mempelajari SCMA secara pribadi, sekalian juga sharing ke yang lain. Tentu saja tulisan ini dibuat dengan bahasa semudah mungkin untuk dibaca kalangan luas. Untuk tulisan standar ilmiah, biasanya dipublish pada artikel jurnal maupun prosiding konferensi dengan tambahan kontribusi ilmiah. Tulisan ini dirangkai berdasarkan review dari paper-paper tentang SCMA, semoga bisa membantu memudahkan dalam memahami SCMA.

Dari namanya yang mengandung kata Multiplexing Access, maka teknologi ini lebih ditujukan kepada bagaimana mengakomodasi berabagai user atau pengguna mengakses data pada suatu teknologi. Jika kita kembali ke masa generasi kedua (2G) teknologi komunikasi bergerak nirkabel, maka jenis Multiplexing Access yang digunakan adalah Time Division Multiplexing Access (TDMA). Sebenarnya paling mudah memahami dengan melihat ilustrasi. Tinggal di-googling image saja, maka ada banyak ilustrasi yang sudah dibuat oleh orang lain. Saya inginnya menulis dengan menggunakan gambar ilustrasi sendiri, akan tetapi memerlukan waktu untuk melakukannya. TDMA ini menempatkan data dari pengguna tertentu pada slot yang berbeda. Slot di sini memiliki arti sekumpulan bit di dalam lebar perioda atau durasi tertentu. Jadi Time Division ini memiliki arti, data dibagi-bagi berdasarkan urutan waktu. Ingat ya, data di sini adalah bit-bit yang terdiri dari dua angka yaitu 0 (nol) dan 1 (satu).

Ketika memasuki era generasi ketiga (3G), teknologi Multiplexing Access yang dipakai adalah Code Division Multiplexing Access (CDMA). Sedangkan CDMA yang dipakai oleh standar yang merupakan kelanjutan atau sinergi dari 2G versi Global System for Mobile communications (GSM) adalah Wideband CDMA (WCDMA). Perbedaan antara CDMA dengan WCDMA adalah lebar bandwidth yang dipakai. Dari namanya Code Division, berarti Access dari pengguna terhadap data yang dikirimkan dan diterima ini, dibedakan berdasarkan code tertentu yang unik untuk tiap pengguna. Secara praktek, tiap pengguna menggunakan lebar pita (bandwidth) frekuensi tertentu dan juga durasi waktu tertentu, akan tetapi power atau daya yang berbeda-beda tiap user. Jadi, data tiap user selain dikalikan oleh kode tertentu, juga memiliki power yang berbeda. Oleh karena itu, teknologi ini cukup sensitif terhadap power control atau kendali daya. Akibatnya adalah teknologi ini bukanlah teknologi yang green atau hijau atau hemat energi. Karena berapapun data yang dipakai maka akan mengkonsusmi lebar pita yang sama. Sehingga boros. Oleh karena itu, pada iphone 3G ada pilihan dan warning jika menggunakan teknologi 3G akan lebih boros batere. Seorang ilmuwan peneliti telekomunikasi juga dalam sebuah konferensi mengajak dan mengakui bahwa ini adalah kesalahan karena sudah mengembangkan teknologi yang tidak efisien energi.

Era generasi keempat (4G) mengadopsi teknologi yang sudah ditemukan lama sekali sejak tahun 50 atau 60-an, yaitu Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM). Teknologi saat ini belum sanggup untuk merealisasikan teknologi ini, di mana teorinya sudah established. Setelah Descrete Fourier Transform (DFT) mulai dapat diaplikasikan dengan kecanggihan teknologi saat ini dengan menggunakan algoritam Fast Fourier Transform (FFT), maka OFDM pun mulai bisa diaplikasikan dan akhirnya dipakai pada komunikasi radio downlink, yaitu dari arah Base Transceiver Station (BTS) 4G, dikenal sebagai eNodeB atau evolved NodeB. Teknologi Multiplexing Access yang dipakai disebut sebagai OFDM Access (OFDMA). Sedangkan arah kebalikannya, diperlukan Peak Average Power Ration (PAPR) yang lebih rendah dan alokasi user yang lebih flexible, maka OFDM atau OFDMA dimodifikasi dengan menambahkan satu lagi FFT atau IFFT pada masing-masing pengirim dan penerima, kemudia dikenal sebagai Single Carrier Frequency Division Multiplexing Access (SC-FDMA). Saya sempat juga membahas OFDMA dan SC-FDMA di tulisan saya yang berjudul Menyambut 5G di Tahun 2020.

Salah satu kandidat kuat untuk dipakai pada generasi kelima (5G) adalah SCMA. Tujuan utama penggunaan SCMA ini adalah untuk mendapatkan jumlah user yang lebih banyak daripada OFDMA dan SC-FDMA, serta agar dapat beroperasi pada sistem yang tidak ortogonal. Ya… jumlah yang banyak sangat diperlukan karena salah satu target dari 5G adalah massive connection pada Internet of Things (IoT) yang mendukung koneksi antar perangkat dan juga koneksi antar mesin.

Ok, mari kita mulai dengan review paper pertama. Paper ini saya pilih dari IEEE Xplore dengan keyword SCMA untuk jurnal yang paling terbaru. Paper ini ditulis oleh Fan Wei dan Wen Chen, Senior Member, IEEE, dari Shanghai Key Laboratory of Navigation and location based services, Shanghai Jiao Tong University, Minhang, China. Judulnya adalah Low Complexity Iterative Receiver Design for Sparse Code Multiplexing Access, diterbitkan pada IEEE Transactions on Communications, 12 November 2016.

Semoga saya juga bisa segera menerbitkan tulisan di IEEE Transactions. Saya baru pertama kali submit paper di IEEE Transactions, yaitu IEEE Transactions on Wireless Communications. Akan tetapi, manuskrip saya tersebut ditolak. Sekarang sedang saya revisi, semoga bisa disubmit lagi ke IEEE Transactions.

Bandar Lampung, 2 Mei 2017

Menurut Fan Wei et. al. keyword 5G adalah (1) Teknik Multiple Access yang tidak ortogonal, (2) massive Multiple Input Multiple Output  (MIMO), (3) Ultra dense radio networking, (4) all-spectrum access, (5) device to device communications, dll. Contoh teknik Multiple Access yang ortogonal adalah CDMA dan OFDMA. Kelebihan teknik yang tidak ortogonal adalah efisiensi yang tinggi dalam penggunaan sumber daya (resource) sehingga cocok untuk IoT yang memerlukan konektifitas yang massive, yakni banyak sekali pengguna yang terkoneksi atau terhubung.

Yang pertama kali memperkenalkan SCMA adalah Nikopour dan Hadi Baligh pada konverensi Personal Indoor and Mobile Radio Communications (PIMRC) tahun 2013 di London, UK, dengan judul Sparse Code Multiplexing Access. Kemudian di tahun berikutnya oleh grup yang sama Mahmoud Taherzadeh, Hosein Nikopour, Alireza Bayesteh, dan Hadi Baligh  pada Vehicular Technology Conference (VTC) Fall 2014 di Vancouver, Canada, dengan judul SCMA Codebook Design. Mereka ini rupanya dari grup Ottawa Wireless R&D Centre, Huawei Technologies Canada Co., Ltd.

Dalam teknik SCMA ini, bit-bit keluaran sebagai hasil dari proses pengkodean di Forward Error Correction (FEC) atau juga dikenal sebagai Channel Coding (pengkodean kanal), langsung dipetakan ke titik lattice kompleks multi dimensi yang disebut codeword. Pada paper Wei Fan et. al. ini,  dijelaskan bahwa kemudian masing-masing dimensi codeword ini dimodulasikan ke sumber daya yang ortogonal (orthogonal resource), sebagai contoh adalah subcarrier dari OFDMA. Setelah itu hasil modulasi ini dikirimkan ke kanal radio.  Sebenarnya saat ini juga sedang dikembangkan modulasi yang tidak orthogonal yaitu Fast OFDM (FOFDM). Jadi SCMA dimodulasikan ke FOFDM yang tidak ortogonal daripada ke OFDM yang ortogonal. Hal ini karena teknik yang ortogonal itu sensitif terhadap frequency offset akibat dari kristal osilator pembangkit gelombang frekuensi carrier.

Begitu membaca Lattice, saya jadi teringat topik riset Associate Professor Brian M. Kurkoski dan murid PhD nya yaitu Dr. Ricardo. Riset mereka ini mengenai Channel Coding dengan menggunakan Lattice. Lab Brian masih bersama dengan Lab sensei saya Tad Matsumoto di tempat saya melakukan kuliah S3 atau PhD, yaitu Japan Advanced Institute of Science and Technology (JAIST) 2013 – 2016.

Pada paper Wei Fan et. al. ini selanjutnya menjelaskan bahwa codewords SCMA mirip dengan Low Density Signature (LDS), di mana codewords di dalam SCMA itu sparse (yang ukurannya kecil-kecil dan tersebar), karena dimensi yang dipakai untuk mentransmisikan data ukurannya porsi yang kecil. Kemudian juga, kedua sistem ini yaitu SCMA dan LDS, sama-sama overloaded, karena jumlah multiplexed codewords lebih banyak dari pada jumlah sub-carrier (OFDMA, FOFDM, dll). Oleh karena itu, factor graph dapat digunakan untuk merepresentasikan kedua skema ini (SCMA dan LDS).

Wah, ternyata ada hubungannya dengan factor graph. Penelitian saya selama sejak 2012, menggunakan factor graph untuk menurunkan rumus baru wireless geolocation. Jadi semakin menarik ya.

Sebelum makin ke dalam membahas SCMA, seperti yang sudah dibahas di atas, teknik ini mirip dengan LDS. Rupanya LDS sudah lebih dahulu dipublish April 2008, atau sekitar 5 tahun sebelum SCMA, yaitu oleh Reza Hoshyar, Ferry P. Wathan, dan Rahim Tafazolli, “Novel low-density signature for synchronous CDMA systems over AWGN channel,” IEEE Trans. Signal Processing. Their research group are Mobile Communication Research Group, Centre for Communication Systems Research, University of Surrey, U.K.

Bandar Lampung, 3 Mei 2017

Seneng juga tahu ada senior di paper LDS di atas IEEE TSP April 2008 yang menjadi rujukan diproposenya SCMA di PIMRC 2013, penulis kedua yaitu Ferry P. Wahthan, rupanya kakak kelas saya di Elektro ITB, 1995 – 1999. Kayaknya gak ketemu, karena saya baru masuk Elektro ITB tahun 1999.  Tahun 2000 – 2002 Pak Ferry ambil S2 di TU Dresden, Germany, kemudan 2003 – 2008 S3 di Univ of Surrey, UK. Paper di atas terbit di IEEE TSP di April 2008. Berarti pas tahun kelulusannya kuliah Doktor di UK.

Bandar Lampung, 5 Mei 2017

Jika kita memahami konsep teknik yang ada, dan dapat menemukan atau memperbaiki kelemahannya, maka akan menjadi teknik baru yang lebih powerful. OFDM memiliki PAPR tinggi, pemecahan masalahnya (solving problem) dengan cara menambahkan satu lagi FFT sehingga menjadi SC-FDMA. OFDM, OFDMA, SC-FDMA, dan CDMA semuanya orthogonal jadinya sekarang research untuk 5G untuk yang tidak ortogonal, karena ortogonal itu sensitif terhadap frequency offset disebabkan oleh cristal oscilator, dll. OFDM dikembangkan menjadi FOFDM agar tidak ortogonal. GFDMA memakai shaping pulse sendiri untuk tiap subcarrier yang tidak ortogonal dari pada menggunakan FFT yang ortogonal.  Karena di LDS setelah FEC, masuk ke pemetaan QAM, kemudian ke spreading signature, menyebabkan desaing multi-dimensi codewords jadi complex, solved problem dengan SCMA dari FEC langsung ke spreading encoder menjadi codewords. Jika SCMA dari Huawei ini punya drawback juga, jadi kalau nanti bisa diperbaiki, menjadi teknik baru yang lebih powerful dari SCMA.

Sebagai contoh, Paper VTC 2016, Multi User Share Access (MUSA) for IoT, author dari ZTE, memberikan comment untuk LDSMA dan SCMA: “One potential issue of LDSMA and SCMA is the scalability, since for MPA receiver, there is lack of definite overloading performance dependence on the sparsity and the number of the sparse code.” Oleh karena itu mereka membuat teknik baru yang disebut MUSA.

Bandar Lampung, 6 Mei 2017

Kembali lagi kita bahas paper Wei Fan et. al. selanjutnya membahas mengenai kenapa performansi atau kinerja SCMA lebih superior daripada LDS. Menurut paper ini penyebabnya adalah shaping gain dari titik-titik lattice komplex yang multi-dimensi (multi-dimensional complex lattice points).