Keistimewaan-keistimewaan Khadijah


Keistimewaan – Keistimewaan Khadijah

by Eva Jumiyanti

10 Oktober 2011 di Facebook Note

Aku tidak pernah merasa cemburu kepada seorang wanita sebesar rasa cemburuku kepada Khadijah. Aku tidak pernah melihatnya, tetapi Rasulullah sering menyebut dan mengingatnya. Ketika menyembelih seekor kambing, beliau selalu memotong sebagian dagingnya dan menghadiahkannya kepada sahabat-sahabat Khadijah. Aku pernah berkata kepada Rasululllah, ‘Seperti tidak ada wanita lain di dunia ini selain Khadijah.’ Rasulullah menjawab, ‘Khadijah itu begini dan begitu, dan dari dialah aku memperoleh anak’. (Kisah Aisyah mengenai Khadijah)

Isi cerita ini semua saya ketik ulang dari buku “Khadijah, The True Love Story of Muhammad” karya Abdul Mun’im Muhammad. Silahkan baca shallallahu ‘alaihi wasallam setiap ketemu tulisan Rasululloh dan Muhammad. Terinspirasi dari seorang saudara tercinta yang menanyakan seperti apa seorang suami/istri yang saling mencintai karna Alloh? Saat itu,sempat terpekur sejenak, dan saya tidak bisa memberi jawaban yang lebih dari yang ia harapkan. Saya hanya membalas dengan pesan singkat, ‘seperti Khadijah mencintai Rasulullah / seperti Rasulullah mencintai Khadijah. Hanya itu. Yang terlintas saat itu, sepertinya kita memang harus memfigurkan sosok mulia dalam rumah tangga, akan selalu ada jawaban memang, seperti misalnya ah, kan itu Rasulullah, sosok yang memang sudah Alloh beri sesuatu yang lebih dari manusia biasanya. Tapi bukankah memang Rasulullah diutus,untuk kita,umatnya,yang begitu sangat beliau cintai,hingga begitu sayangnya, beliau menyebut ummati, ummati, ummati…diakhir hayatnya.. Semoga ini bisa menjadi contoh nyata dalam menjalani hidup dengan bijak.

Semoga ini bisa menjadi jawaban akan pertanyaannya tersebut…salam sayang selalu untuknya 🙂

“…Demi Allah, aku tidak pernah mendapat pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Ia yang beriman padaku ketika semua orang ingkar. Ia yang mempercayaiku ketika semua orang mendustakanku. Ia yang memberiku harta pada saat semua orang enggan memberi. Dan darinya aku memperoleh keturunan -sesuatu yang tidak kuperoleh dari istri-istriku yang lain.” (HR.Ahmad)

Khadijah mendapat pemeliharaan dan bimbingan langsung dari Alloh di sepanjang hidupnya. Allohlah yang mengarahkan Khadijah untuk menjadi teman hidup Rasulullah. Alloh pula yang memunculkan tekad di hatinya untuk senantiasa membela, membangkitkan tekad di hatinya untuk senantiasa membela, membangkitkan tekad, dan mengobarkan semangat suaminya. Alloh yang menganugerahkan kepadanya akal yang cerdas dan akhlak yang mulia. Alloh pula yang menjaganya dari segala cela, sehingga penduduk Mekkah menjulukinya dengan  “wanita suci”.

Mengapa Khadijah ditakdirkan untuk mengelola sendiri urusan-urusan perdagangannya? Karena dengan hal itu, ia belajar untuk bersabar dan bersikap tegas dalam mengambil keputusan. Pengalaman itu menjadikan Khadijah tidak pernah kehilangan semangat serta tidak pernah ragu mengorbankan harta dan jiwa raganya untuk membela agama Islam. Ia tetap tegar menghadapi segala permusuhan dan intimidasi kaum aristokrat Quraisy. Imannya tidak pernah goyah. Dalam melawan Rasulullah melawan tipu daya mereka, da kalanya Khadijah menggunakan pikirannya yang cerdik. Tetapi, adakalanya ia juga mencurahkan kasih sayang seorang ibu atau cinta seorang istri. Dihadapinya semua tantangan dengan keberanian dan keteguhan hati. Tak pernah ia gentar maupun gusar. Ia selalu tenang dan bersabar.

Bimbingan Alloh pulalah yang menjadikannya menolak setiap lamaran dari para bangsawan Quraisy sebelum akhirnya ia menikah dengan Rosulullah. Alloh yang memberinya petunjuk untuk memilih Muhammad saw sebagai pengelola urusan dagangnya ke Syam. Kekagumannya kepada integritas moral dan kemuliaan akhlak Muhammad juga bagian dari takdir Alloh  yang terncana. Dan hal itu membuatnya mampu melampaui segenap adat kebiasaan masyarakat jahiliah, sehingga ia sendiri yang memutuskan untuk memilih Muhammad sebagai pendamping hidupnya. Pilihan itu, sebagaimana kita tahu, tidaklah didasarkan atas kekayaan materi dan otoritas sosial, melainkan atas dasar budi pekerti Muhammad yang luhur – karakter yang membuat masyarakat Mekkah menjulukinya Al-amiin ‘yang terpercaya’.

Bagi Khadijah, harta dan kekayaan materi merupakan sesuatu yang tidak permanen. Sementara adat dan tradisi Jahiliah, menurutnya, adalah seperangkat konvensi yang ditetapkan oleh para leluhur untuk menangani persoalan-persoalan spesifik di zaman mereka sendiri. Ketika zaman telah berubah, sebagian dari adat dan tradisi itu tidak lagi memadai untuk dijadikan pedoman. Pertimbangan itulah yang membuat Khadijah menjadi pelopor bagi upaya memberikan hak pada kaum wanita untuk memilih rekan hidup mereka sendiri. Tidak seorangpun berhak memaksanya untuk duduk manis di rumah, menunggu datangnya lelaki yang melamarnya. Khadijah berpendapat bahwa wanita juga berhak melakukan pendekatan kepada lelaki yang ia inginkan untuk menjadi suaminya.

Siapa pula yang membimbing Khadijah untuk tidak menghalangi suaminya melakukan uzlah di Gua Hira’, menyendiri serta menjauhi praktik penyembahan berhala dan kehidupan hedonis Mekkah selama sebulan penuh setiap tahun? Tentu saja Alloh.

Dalam kenyataannya, Khadijah tidak saja membiarkan Muhammad,suaminya, melakukan uzlah. Ia bahkan berusaha mendorong menyiapkan perbekalan untuk keperluan uzlah suami tercintanya itu.

Setelah menikah dengan Muhammad, Khadijah menyerahkan semua urusan perdagangan serta pengelolaan finansial kepada suaminya yang terkenal cerdas dan jujur. Ia juga mendukung keputusan suaminya untuk bersedekah kepada fakir miskin dan membantu orang-orang yang tertimpa kemalangan. Khadijah memang sejak awal memiliki karakter yang mulia. Keputusan itu ternyata tidak salah; harta di tangan Muhammad selalu bertambah sebanyak jumlah yang ia sedekahkan. Tentu saja karakter dan keputusan Khadijah itu merupakan bagian dari rencana Alloh yang Maha Agung.

Berkat segala kebaikan yang dilakukannya, Alloh pun menghormati Khadijah. Suatu hari, malaikat Jibril mendatangi Rasulullah saw. Dan berkata, “Wahai Muhammad, sebentar lagi, Khadijah akan membawakan makanan dan minuman untukmu. Kalau ia datang, sampaikan kepadanya salam dari Alloh dan dariku.”

Cara Khadijah menjawab salam itu pun menunjukkan keluasan pandangan dan kedalaman perasaanya. Jawabannya mengandung pengagungan terhadap Alloh, doa agar Alloh menganugerahkan kepadanya kedamaian dan keselamatan serta salam untuk Jibril yang telah menyampaikan kepadanya salam dari Alloh. Khadijah berkata, “Allohlah Pemelihara kedamaian dan Sumber segala damai. Salamku untuk Jibril.”

Alloh membimbing Khadijah untuk menyebarkan ketenangan dan cinta kasih di tengah-tengah rumah tangganya. Berbahagialah seluruh anggota keluarganya. Khadijah selalu berusaha agar perasaan Rasulullah tidak pernah terganggu di rumah tangganya sendiri. Tidak pernah kondisi rumah tangga , menjadi penghalang Rasulullah untuk berdakwah. Khadijah merupakan istri dan sahabat ideal yang selalu setia mendampingi serta menghibur Rasulullah dalam setiap kesulitan. Karena itulah, Alloh berkenan memberinya kabar gembira tentang sebuah rumah terbuat dari permata yang dibangun untuknya di surga. Rasulullah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memberi kabar gembira kepada Khadijah bahwa akan dibangun untuknya di surga sebuah rumah dari permata; tidak ada hiruk pikuk dan rasa lelah di sana.”

Alloh juga berkenan memberikan sebuah keistimeaan kepada Khadijah. Hanya darinyalah anak keturunan Rasulullah berasal.

Perlu diingat juga, bahwa Rasulullah terlahir sebagai anak yatim. Kemudian ditinggal wafat ibunya, Aminah binti Wahab, diusianya yg ke enam tahun. Sejak kecil beliau telah kehilangan kasih sayang ayah dan ibunya. Kakeknya, Abdul Muthalib, dan pamannya, Abu Thalib, menggantikan peran ayah bagi Muhammad muda. Tetapi sepanjang hidupnya, Muhammad selalu merindukan sosok sang ibu. Fatimah binti Asad, istri Abu Thalib, pernah mengisi peran yang hilang ini. Rasulullah mengakui hal ini sebagaimana tercermin dalam pernyataan beliau, “ orang yang paling baik kepadaku setelah Abu Thalib adalah Fatimah binti Asad.” Tetapi Fatimah harus membagi perhatiannya untuk melayani Abu Thalib, suaminya dan sejumlah keluarga besarnya.

Oleh karena itu, ketika Muhammad beranjak dewasa, ia harus menghidupi dirinya dengan cara menggembala kambing milik beberapa kerabatnya yang kaya. Untuk mengganjal perutnya, seringkali Muhammad memakan buah-buahan yang ditemukannya di tempat penggembalaan. Pada saat yang sama, banyak pemuda sebayanya yang menikahi gadis-gadis terhormat dari kaum Quraisy setelah menyerahkan mahar dalam jumlah tertentu. Sementara Muhammad, hingga usianya mencapai 25 tahun, tidak memiliki harta untuk dijadikannya mahar.

Akan tetapi Khadijah, dengan kecerdasan pikiran dan kejernihan perasaannya, yakin bahwa Muhammadlah orang yang diramalkan para rahib dan pendeta akan menjadi nabi akhir zaman. Khadijah percaya kepada saudara sepupunya, Waraqah ibnu Naufal, yang menyatakan bahwa Muhammadlah nabi yang ditunggu-tunggu dari bangsa Arab. Atas dasar keyakinan itu, Khadijah memberanikan diri untuk mendobrak tradisi jahiliah dengan meminang langsung Muhammad untuk dirinya sendiri. Keduanya menikah. Khadijah berperan sebagai seorang istri yang setia, sahabat yang penuh pengertian, sekaligus ibu yang penuh kasih sayang. Kehidupan rumah tangga Khadijah diliputi kebahagiaan serta dilandasi oleh sikap ikhlas dan prinsip saling menghormati.  Muhammad pun hidup berkecukupan. Alloh melukiskan itu dalam Al-Quran,

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (Adh-dhuha : 8)

Muhammad merupakan pemuda yang teguh menjaga kehormatan dirinya. Ia tidak pernah mengenal wanita lain sebelum Khadijah. Ketika menikah, Muhammad berusia 25 tahun sementara Khadijah berusia 40 tahun. Ketika Muhammad kemudian diangkat menjadi Rasul, Khadijahlah yang berperan penting dalam menghilangkan keraguan dan ketakutan dari diri Muhammad. Khadijah pula yang pertama kali mengimani dan mempercayainya. Di tengah kerasnya intimidasi dan tekanan kaum Quraisy kepada Rasulullah, Khadijah juga yang dengan setia mendampingi dan membelanya. Benarlah pernyataan bahwa “Muhammad tidak pernah menerima pengingkaran dan pendustaan yang menyakiti hatinya kecuali Alloh meringankannya melalui Khadijah.”1

Peran itu terus dijalankan Khadijah selama sepuluh tahun, sejak ia berusia 55 tahun hingga ia meninggal dunia pada usia 65 tahuun. Kekuatan fisik dan kecantikan Khadijah semakin lama semakin pudar dimakan usia. Tetapi ada sesuatu yang tidak pernah berubah didalam dirinya, kekuatan spiritual dan kejernihan cinta. Ia selalu dan selamanya beriman kepada Alloh serta meyakini kebenaran risalah suaminya. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah pada masa hidup Khadijah tidak pernah berpikir untuk menikah dengan perempuan lain atau menjadikan hamba sahaya wanita sebagai istri. Begitu berarti Khadijah bagi beliau hingga tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan posisinya.

Ketika Khadijah meninggal dunia, Rasulullah tetap saja tidak bisa melupakan Khadijah. Beliau kerap memuji dan mendoakannya di depan istri beliau yang lain. Aisyah satu-satunya wanita yang dinikahi Rasulullah dalam keadaan masih gadis, pernah merasa sangat cemburu. Ketika Aisyah sedang cemburu kepada Khadijah, Rasulullah pernah berkata, “Aku dikaruniai Alloh rasa cinta yang mendalam kepadanya.”

Aisyah juga mengisahkan, “Rasulullah hampir tidak pernah keluar tanpa menyebut dan memuji Khadijah. Hal itu membuatku cemburu. Kukatakan, ‘bukankah ia hanya seorang wanita tua renta dan engkau telah diberi pengganti yang lebih baik daripadanya? Mendengar itu, beliau murka hingga bergetar bagian depan rambutnya. Beliau katakan, ‘Tidak. Demi Alloh, aku tidak pernah mendapat pengganti yang lebih baik daripada Khadijah. Ia yang beriman kepadaku ketika semua orang ingkar. Ia yang mempercayaiku tatkala semua orang mendustakanku. Ia yang memberiku harta pada saat semua orang enggan memberi. Dan darinya aku memproleh keturunan –  sesuatu yang tidak kuperoleh dari istri-istriku yang lain.’ Maka aku berjanji dalam hati untuk tidak mengatakan sesuatu yang buruk tentangnya lagi.”

Rasulullah sendiri sangat menghormati Khadijah. Jasanya bagi penyebaran Islam sungguh tidak terkira. Di depan para sahabatnya, Rasulullah sering menyebut Khadijah sebagai wanita paling utama di muka bumi. Ali ibnu Abi Thalib pernah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Sebaik -baik wanita dunia adalah Maryam binti Imran. Sebaik-baik wanita dunia adalah Khadijah.’

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah juga berkata, “Pemuka wanita dunia adalah Maryam, lalu Fatimah, lalu Khadijah, lalu Asiyah.”

Pernyataan yang sama juga diriwayatkan oleh Anas, Rasulullah bersabda, “ Wanita-wanita terbaik sepanjang sejarah adalah Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Asiyah, istri Firaun.”

Ahmad dan Abu Hatim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “sebaik-baik wanita penghuni surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran dan Asiyah, istri Firaun.”

Suatu hari Ummu Zafr, pelayan wanita Khadijah, datang kepada Rasulullah. Beliau saat itu berada di Madinah. Rasulullah memberikan penghormatan yang layak kepadanya. Beliau berkata, “ wanita ini adalah sahabat Khadijah. Dan persahabatan yang baik adalah bagian dari iman.”

Salah satu contoh gamblang yang menunjukkan betapa berarti Khadijah di hati Rasulullah adalah sebuah peristiwa yang terjadi tahun 8 Hijriah, 11 tahun setelah wafatnya Khadijah. Pada hari pembebasan Mekah (Fath Makkah), Rasulullah menunjuk Zubair bin Awwam untuk memimpin sekelompok pasukan Muhajirin dan Anshar. Beliau menyerahkan panji pasukan dan memerintahkan Zubair untuk menancapkannya di Hujun, sebuah dataran tinggi di Mekkah. Beliau berpesan, “jangan engkau tinggalkan tempat engkau tancapkan panji ini hingga aku mendatangimu.”

Sesampainya di Hujun, Abbas ibnu Abdil Muththalib berkata kepada Zubair, “ Wahai Zubair, disinilah RasululIah memerintahkanmu untuk memancangkan panji pasukan.”

Di Hujun itulah terletak makam Khadijah. Dan tempat itu yang dipilih Rasulullah sebagai pusat komando dan pengawasan pasukan Islam pada perang pembebasan Mekkah. Dari sana pula beliau memasuki kota Mekkah, pada hari ketika kaum Muslimin berhasil mengalahkan kaum kafir Quraisy, ketika orang-orang memeluk Islam secara berbondong-bondong, ketika agama tauhid menghancurkan kemusyrikan. Pada hari yang bersejarah itu, ka’bah dan Masjidil Haram dibersihkan dari berhala-berhala. Saat itu pula Rasulullah membacakan ayat,

Dan katakanlah, ‘Kebenaran telah dantang dan yang batil telah lenyap.’ Sungguh, yang batil itu pasti lenyap.” (Al-Isra : 81)

 1 Ibnu Hisyam, as-shirah dan Ibn al-Barr, al-Isti’ab.

wallahua’lam beisshowab

Gambar

Autumn/Fall season/Musim Gugur di JAIST, Nomi-shi, Ishikawa-ken, Japan

Tinggalkan komentar