1. Cara Permulaan Turunnya Wahyu Kepada Rasulullah SAW


20131124-102745.jpg

Bulan di Pagi Hari di JAIST

 

Penulis: Ibnu Hajar Al Asqolani

Penerjemah : Ghazirah Abdi Ummah
Editor : Abu Rania, Lc., Titi Tartilah, S. Ag.

 

PERMULAAN TURUNNYA WAHYU

Syaikh Al Imam Al Hafidz Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah Al Bukhari berkata:

[1] BAB CARA PERMULAAN TURUNNYA WAHYU KEPADA RASULULLAH

Allah berfirman dalam Al Qur’an,

إِنَّآ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ كَمَآ أَوۡحَيۡنَآ إِلَىٰ نُوحٍ وَٱلنَّبِيِّـۧنَ مِنۢ بَعۡدِهِ

Sesungguhnya Kami menurunkan wahyu kepadamu (Muhammad) seperti Kami  menurunkan wahyu kepada Nabi Nuh dan nabi-nabi setelahnya.” (Qs. An-Nisaa’ (4): 163)

Imam Bukhari berkata, “Bismillahirrahmaanirrahiim, cara permulaan turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW.”

Ada pertanyaan yang ditujukan kepada Imam Bukhari tentang tidak dimulainya penulisan kitab ini dengan kalimat hamdalah dan syahadat, sebagai pengamalan dari hadits Nabi SAW, “Setiap pekerjaan yang tidak dimulai dengan membaca hamdalah (memuji Allah), maka pekerjaan itu terputus (dari rahmat-Nya)“.

Pada hadits yang lain disebutkan, “Setiap khutbah yang tidak terdapat di dalamnya syahadat, maka khutbah itu seperti tangan yang terpotong.” Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah.

Jawaban pertama, bahwa yang terpenting dalam khutbah adalah memulainya dengan apa yang dimaksudkan. Imam Bukhari telah memulai kitab ini dengan membahas “Permulaan Turunnya Wahyu” dan menjelaskan, bahwa maksud pekerjaan itu harus sesuai dengan niatnya, seakan-akan beliau mengatakan, “Aku memulai pembahasan wahyu yang berasal dari Allah untuk menunjukkan ketulusan pekerjaan dan niatku. Sesungguhnya perbuatan yang dilakukan setiap manusia adalah tergantung niat yang ada dalam hatinya, maka cukuplah kita memahami masalah ini dengan makna yang tersirat.” Cara seperti ini banyak kita temukan dalam metode penulisan kitab-kitab yang lain.

Jawaban kedua, bahwa kedua hadits tersebut bukan hadits yang memenuhi syarat Bukhari, bahkan kedua hadits tersebut masih mendapat kritikan. Kita setuju dengan kedua hadits ini sebagai hujjah, akan tetapi maksud hadits ini bukan berarti harus diucapkan dan ditulis. Mungkin beliau telah mengucapkan hamdalah dan syahadat ketika menulis, sehingga setelah itu beliau hanya cukup menulis basmalah saja, karena maksud ketiga hal tersebut {hamdalah, syahadat dan basmalah) adalah mengingat Allah SWT, dan itu cukup dengan mengucapkan basmalah. Sebagaimana ayat Al Qur’an yang pertama turun, ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ, “Bacalah dengan nama Allah.” (Qs. Al ‘Alaq (96): 1) yang berarti, bahwa mengawali suatu perbuatan dengan basmalah telah mewakili hamdalah dan syahadah.

Kemudian juga surat-surat Rasulullah yang dikirimkan kepada beberapa raja, beliau hanya menulis di awal surat tersebut dengan basmalah tidak dengan hamdalah dan syahadah, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sufyan tentang cerita Raja Hercules dalam bab ini, hadits yang diriwayatkan oleh Barra’ tentang kisah Suhail bin Amar dalam bab “Perjanjian Hudaibiyah “, dan hadits-hadits lainnya.

Untuk itu kita dapat memahami bahwa, hamdalah dan syahadah hanya dianjurkan ketika  khutbah bukan dalam penulisan surat atau dokumen, maka Imam Bukhari dalam  memulai tulisannya memakai metode penulisan surat kepada ulama, dengan tujuan agar mereka dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya.

Para penyarah kitab Bukhari telah mengemukakan pendapat dalam masalah ini,  meskipun pendapat mereka masih harus diteliti kembali. Mereka berpendapat bahwa memulai kitab ini dengan menyebut basmalah dan hamdalah adalah termasuk dua hal  yang bertentangan menurut Imam Bukhari, karena jika ia memulai dengan hamdalah, hal itu akan bertentangan dengan adat (kebiasaan), dan seandainya ia memulai dengan  basmalah, maka ia telah meninggalkan hamdalah, dengan demikian ia hanya memulai dengan basmalah.

Seluruh penulis mushhaf di setiap negara juga mengikuti cara ini, baik mereka yang mengatakan bahwa basmalah adalah termasuk ayat surah Al Fatihah, atau mereka yang tidak berpendapat seperti itu. Disamping itu ada juga yang konsisten dengan firman Allah, ‘Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya” (Qs. Al Hujuraat (49): 1), sehingga beliau tidak mendahului perkataan Allah dan Rasul-Nya kecuali dengan perkataan-Nya.

Adapun pendapat yang sangat jauh dari kebenaran adalah pendapat yang mengatakan, bahwa Imam Bukhari memulai tulisan ini dengan khutbah, yang di dalamnya ada hamdalah dan syahadah, akan tetapi telah dihapus oleh orang yang meriwayatkannya.

Seakan-akan orang yang berpendapat seperti ini belum pernah membaca kitab yang ditulis oleh guru-guru Imam Bukhari dan ahli hadits pada waktu itu, seperti Imam Malik dalam kitab Muwaththa’, Abd. Razaq dalam kitab Mushannif, Imam Ahmad dalam kitab MusnadAhmad, Abu Daud dalam kitab Sunan Abu Daud, dan kitab-kitab lainnya yang tidak dimulai dengan khutbah dan hanya dimulai dengan basmalah. Golongan ini adalah mayoritas, sedangkan mereka yang memulai dengan khutbah hanya golongan minoritas.

Apakah mungkin dikatakan setiap perawi kitab-kitab tersebut telah menghapus khutbah? Sama sekali tidak mungkin, karena menurut pendapat mereka hamdalah hanya diucapkan
saja, sebagaimana diriwayatkan oleh Syaikh Khatib dalam Kitab Al Jami’?, bahwa Imam Ahmad hanya membaca shalawat Nabi dan tidak menulisnya ketika menulis hadits, hal ini menunjukkan hamdalah dan syahadah hanya dianjurkan untuk dibaca bukan ditulis. Akan tetapi mereka yang memulainya seperti metode khutbah, yaitu dengan menyebut hamdalah dan basmalah, seperti yang dilakukan oleh Imam Muslim, hal itu kita serahkan kepada Allah, karena Dia yang Maha Mengetahui akan suatu kebenaran.

Sudah menjadi kebiasaan para pengarang kitab, untuk memulai penulisan dengan lafazh basmalah, tetapi dalam penulisan syair ada perbedaan pendapat jika dimulai dengan basmalah. Menurut Imam Sya’bi, itu tidak boleh. Imam Zuhri mengatakan, “Telah menjadi kesepakatan para ulama terdahulu untuk tidak mencantumkan basmalah
dalam penulisan syair,” sedangkan Sa’id bin Juba’ir dan Jumhur Ulama membolehkan hal itu. Adapun Al Khatib membenarkan kedua pendapat tersebut.

Permulaan Turunnya Wahyu

Wahyu menurut etimologi (bahasa) adalah memberitahukan secara samar, atau dapat diartikan juga dengan tulisan, tertulis, utusan, ilham, perintah dan isyarat. Sedangkan menurut terminologi (syariat) adalah memberitahukan hukum-hukum syariat, namun terkadang yang dimaksud dengan wahyu adalah sesuatu yang diwahyukan, yaitu kalam
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun pengertian “permulaan turunnya wahyu” adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan permulaan turunnya wahyu.

إِنَّآ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ (Sesungguhnya kami menurunkan wahyu kepadamu [Muhammad])

Ada pendapat yang mengatakan, disebutkannya nama nabi Nuh dalam ayat tersebut, menunjukkan bahwa nabi Nuh adalah nabi yang pertama diutus oleh Allah atau nabi pertama yang kaumnya mendapat siksaan, sehingga dengan demikian tidak menyalahi nabi Adam sebagai nabi pertama. Masalah ini akan dibahas secara panjang lebar dalam
masalah syafa’at. Sedangkan korelasi ayat ini dengan pembahasan tentang wahyu, adalah menjelaskan bahwa turunnya wahyu kepada nabi Muhammad tidak berbeda dengan cara turunnya wahyu kepada nabi-nabi sebelumnya. Seperti cara turunnya wahyu pertama kali kepada para nabi adalah dengan mimpi, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Dalail dengan sanad hasan dari Alqamah bin Qais, teman Ibnu Mas’ud, dia berkata, “Sesungguhnya wahyu yang pertama turun kepada para nabi adalah dengan cara mimpi sehingga hati mereka menjadi tenang, setelah itu Allah menurunkan wahyu kepada mereka dalam keadaan sadar. ”

عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ، يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ـ رضى الله عنه ـ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ ‏ “‏ إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ‏”‏‏.‏

(1) Dari ‘Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi bahwa ia berkata, “Aku mendengar Umar bin Khaththab RA berkata di atas mimbar, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tiap-tiap amal perbuatan harus disertai dengan niat, balasan bagi setiap amal manusia sesuai dengan apa yang diniatkan. Barangsiapa yang berhijrah untuk mengharapkan dunia atau seorang perempuan untuk dinikahi, maka hijrahnya sesuai
dengan apa yang diniatkan.”

Keterangan Hadits:

عَلَى الْمِنْبَرِ (di atas mimbar), yaitu mimbar masjid Nabawi (Madinah).

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ (Tiap-tiap amal perbuatan harus disertai dengan niat).

Setiap pekerjaan harus didasari dengan niat. Al Khauyi mengatakan, seakan-akan Rasulullah memberi pengertian bahwa niat itu bermacam-macam sebagaimana  perbuatan. Seperti orang yang melakukan perbuatan dengan motivasi ingin mendapat ridha Allah dan apa yang dijanjikan kepadanya, atau ingin menjauhkan diri dari ancaman-
Nya.

Sebagian riwayat menggunakan lafazh Anniah dalam bentuk mufrad (tunggal) dengan alasan, bahwa tempat niat adalah dalam hati, sedangkan hati itu satu, maka kata niyat disebutkan dalam bentuk tunggal. Berbeda dengan perbuatan yang sangat tergantung kepada hal-hal yang bersifat lahiriah yang jumlahnya sangat banyak dan beragam,   sehingga dalam hadits tersebut kata ‘amal menggunakan lafazh jama’ (plural) yaitu الأَعْمَالُ
selain itu niat hanya akan kembali kepada Dzat Yang Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya.

Lafazh hadits yang tertulis dalam kitab Ibnu Hibban adalah الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ, tidak tertulis lafazh إِنَّمَا dan ini juga terdapat dalam kitab Asy-Syihab karangan Al Qudha’i. Akan tetapi Abu Musa Al Madini dan Imam Nawawi menentang riwayat ini.

Lafazh إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ (innamal a’malu binniyyaat) mengandung arti hashr (pembatasan)
menurut para muhaqqiq (peneliti).

Setiap perbuatan pasti membutuhkan pelaku, maka kalimat الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ  secara lengkap adalah (al a’maalush shoodirotu minal mukallifiin) perbuatan yang berasal dari orang-orang mukallaf (orang yang dikenai beban syariat). Dengan demikian apakah perbuatan orang kafir termasuk dalam kategori ini? Jawabnya, tidak termasuk, karena maksud perbuatan dalam hadits ini adalah ibadah, sehingga orang kafir tidak termasuk dalam hadits ini, meskipun mereka diperintahkan untuk melaksanakan dan akan mendapat hukuman apabila meninggalkannya.

بِالنِّيَّاتِ (binniyyaat (dengan niat)).

Huruf ba’ menunjukkan arti mushahabah (menyertai), dan ada juga yang mengartikan sababiyah (menunjukkan sebab). Imam Nawawi mengatakan, bahwa niat berarti maksud, yaitu keinginan yang ada dalam hati. Tetapi Syaikh Al Karmani menambahkan, bahwa keinginan hati adalah melebihi maksud.

Para ahli fikih berselisih pendapat untuk menentukan apakah niat itu termasuk rukun atau syarat? Dalam hal ini pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan, bahwa mengucapkan niat di awal pekerjaan adalah rukun, sedangkan menyertakannya dalam pekerjaan adalah syarat.

Dalam lafazh hadits tersebut ada kata yang dihilangkan (mahdzuf) sebelum jar majrur (binniyyaat), ada yang mengatakan bahwa lafazh tersebut adalah, tu’tabar (tergantung), takmulu (sempurna), tashihhu (menjadi sah) dan tastaqirru (langgeng).

Ath-Thibi berkata, “Perkataan Allah adalah berfungsi untuk menjelaskan hukum syariat, karena perkataan tersebut ditujukan kepada orang yang mengerti, seakan-akan mereka mendapat perintah apa yang tidak mereka ketahui kecuali dari Allah.”

Baidhawi berkata, “Niat adalah dorongan hati untuk melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan, baik mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, sedangkan syariat adalah sesuatu yang membawa kepada perbuatan yang diridhai Allah dan mengamalkan segala perintah-Nya.”

Niat dalam hadits ini menunjukkan makna etimologi (bahasa), seakan-akan hadits ini mengatakan, “Tidak ada perbuatan kecuali berdasarkan niat.” Tetapi niat bukan inti dari perbuatan tersebut, karena ada beberapa perbuatan yang tidak didasari dengan niat, maka maksud penafian tersebut adalah penafian hukumnya, seperti sah atau kesempurnaan perbuatan.

Guru kami Syaikh Islam berkata, “Yang paling baik adalah menakdirkan bahwa suatu perbuatan tergantung kepada niatnya, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits, “Barang siapa melakukan hijrah… ” Dengan demikian lafazh yang dihilangkan menunjukkan isim fa’il dan fi’il. Kemudian lafazh ‘amal (perbuatan) mencakup perkataan
(lisan).

Ibnu Daqiq Al ‘Id berkata, “Sebagian ulama mengatakan, bahwa perkataan tidak termasuk dalam perbuatan. Pendapat ini adalah pendapat yang salah, karena bagi saya hadits ini telah memberi penjelasan bahwa perkataan termasuk perbuatan. Karena sikap seseorang yang meninggalkan sesuatu dapat juga dikategorikan dalam perbuatan, meskipun hanya
menahan diri untuk tidak melakukan suatu perbuatan.”

Memang akan terjadi suatu kontradiksi bagi orang yang mengatakan, bahwa perkataan adalah suatu perbuatan, ketika menjumpai orang yang bersumpah untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan, tapi orang itu tetap berbicara. Di sini saya katakan, bahwa masalah sumpah sangat tergantung kepada kebiasaan (‘urf), sedangkan perkataan menurut kebiasaan bukan termasuk perbuatan. Adapun pendapat yang benar, adalah secara hakikat perkataan tidak termasuk dalam perbuatan, akan tetapi secara majaz (kiasan) perkataaan termasuk dalam perbuatan, berdasarkan firman Allah, “Seandainya Allah menginginkan maka mereka tidak akan melakukannya.” dimana ayat tersebut berada setelah ayat zukhrufal qauli (perkataan yang indah), (yaitu sebagian manusia ada
yang membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah-indah dengan maksud menipu -ed.).

Ibnu Daqiq Al ‘Id berkata, “Orang yang mensyaratkan niat dalam suatu perbuatan, maka kalimat yang dihapus dalam hadits tersebut diperkirakan adalah kalimat shihhatal a’maali (sahnya perbuatan), dan bagi yang tidak mensyaratkan niat, ia memperkirakan kalimat kamaalal a’maali (kesempurnaan perbuatan). Adapun pendapat yang paling kuat
adalah pendapat pertama.

Sebagian ulama tidak mensyaratkan niat dalam melakukan suatu perbuatan. Perbedaan tersebut bukan pada tujuannya tapi hanya pada sarana atau wasilahnya saja, maka madzhab Hanafi tidak mensyaratkan niat dalam wudhu, demikian juga Al Auza’i tidak mensyaratkan niat dalam tayammum. Memang diantara ulama terjadi perbedaan pendapat dalam masalah ini, namun inti perbedaan terletak pada apakah niat harus disertakan dalam permulaan suatu perbuatan atau tidak, sebagaimana yang diterangkan dalam pembahasan fikih.

Alif lam dalam lafazh لنِّيَّاتِ (anniyyaat) diakhiri dengan dhamir (kata ganti), yaitu  al a’maalu biniyyaatihaa (amal perbuatan adalah tergantung niatnya). Dengan demikian, kita dapat membedakan apakah niat shalat atau bukan, shalat fardhu atau sunnah, dhuhur atau ashar, diqashar (diringkas) atau tidak dan seterusnya. Namun demikian, apakah masih diperlukan penegasan jumlah rakaat shalat yang akan dikerjakan? Dalam hal ini memerlukan pembahasan yang panjang. Tapi pendapat yang paling kuat menyatakan tidak perlu lagi menjelaskan jumlah bilangan rakaatnya, seperti seorang musafir yang berniat melakukan shalat qashar, ia tidak perlu menegaskan bahwa jumlah rakaatnya adalah dua, karena hal itu sudah merupakan konsekuensi dari shalat qashar. wallahu a’lam.

(bersambung)

Bibliografi

[1] http://www.quranexplorer.com/quran/

[2] Ibnu Hajar, Terjemah Faatul Baari, Pustaka Azam

[3] http://shirotholmustaqim.wordpress.com

[4] http://sunnah.com/bukhari/1

Tinggalkan komentar