Ibnu Taimiyyah


Biografi berdasarkan  buku Sujudut-Tilawah: Ma’anihi wa Ahkamuhu, edisi terjemahan bahasa indonesia: Tata Cara Sujud Tilawah. Penerbit Al Qowam

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah lahir pada tanggal 10 Rabi’ul Awwal 661 H di Harron. Ayah beliau membawanya pindah dari Harron menuju Damaskus pada tahun 667 H ketika Tartar mengusai negerinya. Di sanalah kemudian beliau tumbuh. Ayah dan kakeknya termasuk ulama besar pada zamannya.

Saat masih muda, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan pada zamannya. Beliau adalah orang yang sangat kuat hafalannya. Beliau dapat menghafal segala hal yang beliau lihat, sehingga orang-orang pun membicarakan berbagai keajaiban beliau tentang hal ini di biografinya.

Beliau menjadi teladan dalam hal kezuhudan dan ketidaksukaannya terhadap syahwat dunia. Beliau tidak pernah dengki dan tidak membalas suatu kejahatan untuk kepentingan dirinya. Ibnu Makhluf, seorang Qodhi dari madzhab Maliki, berkata tentang diri beliau, “Kami tidak pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyyah. Kami memprovokasi untuk menggencetnya, namun kami tidak mampu mengalahkannya. Tatkala ia mampu membalas kami, justru ia memaafkan kami dan membela kami dengan argumennya.”

Beliau belajar fiqih dan ushul fiqih dari ayahnya dan mendengar dari banyak ulama. Di antara murid-murid beliau yang termasuk tokoh tangguh Islam dan paling terkenal sepeninggal beliau adalah Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah, Al-Hafizh Ibnu Katsir, Imam Dzahabi dan lainnya.

Syaikhul Islam mempelajari ilmu di zamannya dengan belajar secara mendalam. Kemudian beliau menekuni penulisan dan membantah orang-orang yang menyelisihinya. Beliau meninggalkan karya tulis yang jumlahnya mencapai lima ratus karangan.

Para ulama dan imam memberikan pujian kepada beliu dan memberi beliau gelar Syaikhul Islam. Mereka menulis keutamaan-keutamaan beliau dalam kitab tersendiri. Tidak ada orang yang mencelanya kecuali orang bodoh dan tidak tahu kedudukan dan kehebatan beliau. Pasalnya, orang yang tidak mengetahui sesuatu, pada umumnya akan mengingkarinya.

Al-‘Allamah Baha’uddin As-Subki memberikan pernyataannya yang cukup adil kepada orang-orang yang mangadukan kepadanya perihal Ibnu Taimiyyah sembari mempermasalahkannya. Maka As-Subki berkata, “Demi Allah, hai fulan, tidak ada orang yang membenci Ibnu Taimiyyah kecuali orang bodoh atau pengekor hawa nafsu!!” Orang bodoh itu tidak mengerti apa yang ia ucapkan, sedang pengekor hawa nafsu telah dihalangi oleh hawa nafsunya dari kebenaran setelah ia mengetahuinya.”

Beliau dijebloskan ke dalam penjara terakhir kali pada bulan Sya’ban 726H dan ditahan di Al-Qol’ah (benteng Damaskus). Beliau tinggal di penjara sampai wafat pada tanggal 26 Dzulqo’dah 728 H.

Prosesi pemakaman beliau sangat mulia. Paling tidak, taksiran minimal orang-orang yang mengiringi jenazahnya ada 50 ribu orang. Semoga Allah melimpahkan rahmat yang luas kepadanya. Semoga Allah memberikan balasan paling baik kepadanya atas jasanya terhadap agama ini, sebagaimana Dia membalas seorang dai penyeru kebenaran atas dakwah yang diembannya.

Biografi berdasarkan buku Tazkiyatun Nafs,

Penerbit Darus Sunnah

Lingkungan dan Pergaulan

Pada akhir abad ke 7 H, terbitlah sebuah bintang yang bernama Ibu Taimiyah. Pada waktu dimana terjadi banyak peristiwa yang beragam. Daulah Islamiyah terpecah menjadi beberapa negara kecil, setiap negara tersebut ingin saling menghancurkan yang lainnya, penguasa – sebagaimana yang pernah disinyalir oleh Nabi SAW- menjadi penguasa yang saling memangsa satu dengan lainnya, maka urusan pun menjadi kacau.

Orang-orang Nasrani cemburu atas pusat kekuasaan Islam, akan tetapi Allah menghendaki kemenangan bagi umat Muhammad. Kondisi tersebut belum lagi reda hingga datanglah bangsa Tartar dan kegiatan sekte kebatinan semakin semarak. Di Andalusia juga terbagi kepada beberapa bagian dan setiap kota memiliki pemimpin, pasukan dan tentara sendiri. Musuh pun menjadikan mereka satu persatu sebagai buruan, dan demikianlah seterusnya hingga pada akhirnya robohlah yang masih tersisa, maka ia pun memangsanya lalu terjadilah apa yang terjadi.

Dalam berbagai peristiwa yang saling berbenturan inilah Ibnu Taimiyah dilahirkan, ia hidup sebagaimana seorang mukmin yang penuh semangat, maka apakah ia terpengaruh dengan kejadian di sekitar lingkungannya? Ataukah ia yang memberikan pengaruh terhadap lingkungan sekitarnya? Apakah ia menyerah terhadap setiap fitnah, pendapat dan musuh ini?

Nama, Nasab dan Pertumbuhan

Namanya, Ahmad Taqiyuddin Abu ‘Abbas bin Syaikh Syihabuddin Abdul Halim bin Syaikh Abi Al-Barakat.

Ia dilahirkan pada tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 Hijriah. Ia dilahirkan di Haran dan menetap di sana hingga usia tujuh tahun, di mana pada waktu tersebut bangsa Tartar menyerang negeri tersebut, maka keluarganya mengungsikannya ke Damaskus. Di tengah perjalanannya menuju ke sana mereka mengalami kesulitan dan terancam bahaya, semua hal ini mengesankan kebencian yang sangat mendalam terhadap bangsa Tartar dalam hati sang imam, yang membuatnya ketika telah dewasa berada pada barisan terdepan para mujahidin melawan Tartar.

Selama mereka bermukim di Damaskus, ketenaran ayahnya dengan ilmu dan wara’ semakin populer, ia menjadi Syaikh Dar Al-Hadits as-Sukriyyah dan menjadi guru di Jami’ al-Umawi. Ketika itu sang imam tumbuh dan terdidik di kalangan ulama semasa ayahnya, terlebih karena pada diri beliau terdapat kecerdasan yang cemerlang dan kecepatan menghafal yang luar biasa serta sifat keberanian.

Dalam lingkungan ilmiah inilah Ibnu Taimiyah menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat belia, kemudian beliau beralih mempelajari hadits, bahasa, hukum-hukum fikih dan menghafalnya sesuai yang dikehendaki Allah baginya. Sejak kecil ia memiliki tiga keistimewaan:

1. Ingatan yang sangat tajam, akal yang cerdas, pikiran yang lurus dan kematangan pada usia dini.

2. Kesungguhan dan ketekunan; ia mengalihkan pandangan kepada kemuliaan berupa ilmu dan pengkajian.

3. Hati dan jiwanya senantiasa peka terhadap kejadian di sekitarnya meski ia senantiasa tekun dengan ilmu, menghafal dan mengkaji.

Imam Ibnu Taimiyah mempelajari Musnad Ahmad, Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abu Daud, Sunan An-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, dan Sunan Ad-Daruquthni, semuanya telah dipelajarinya berulang kali.

Referensi:

1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Sujudut-Tilawah: Ma’anihi wa Ahkamuhu, edisi terjemahan bahasa indonesia: Tata Cara Sujud Tilawah. Pentahqiq: Abu ‘Abdirrahman Fawwaz Ahmad Zamroli. Al-Qowam, Cetakan I – Oktober 2007.

Tinggalkan komentar